Resensi Pendidikan Islam


MEWUJUDKAN PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF


Judul Buku : Pendidikan Islam Transformatif
Penulis : Dr. Mahmud Arif
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : 309 Halaman
Peresensi : Iqro' Alfirdaus

Di akui atau tidak, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam kehidupan manusia baik sebagai individu, kelompok maupun sosial-kenegaraan. Sebab, tidak meungkin suatu bangsa akan cerdas dan pintar tanpa pendidikan. Dan tidak mungkin pendidikan berjalan tanpa guru. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Guru adalah orang yang patut digugu dan ditiru, di asamping itu guru sering disebut pahlaan tanpa jasa. Itulah pandangan umum tentang pendidikan dan proses belajar mengajar khususnya dalam suatu bangsa.
Demikian juga tentang pendidikan islam yang akhir-akhir ini menjadi suatu kebutuhan paling sentral khususnya umat muslim dan masyarakat secara umum. Karena, mayoritas masyarakat indonesia adalah muslim maka hal ini menuntut mereka paling tidak bisa dan mengetahui serta paham pendidikan islam pada khususnya. Pendidikan islam adalah sebagai wadah dengan aneka warna untuk membentuk kehidupan masyarakat lebih baik dan bermoral secara islami.
Pada awal perkembangan pendidikan islam pada umumnya berlangsung secara dogmatis. Mereka menganggap bahwa semuanya harus sesuai dan mengarah terhadap kitab-kitab klasik yang dikarang oleh ulama salaf. Sehingga ketika tidak sesuai maka mereka cenderung melarang dan bahkan mengharamkan. Perbedaan pendapat bermunculan dan seringkali saling mangkafirkan satu sama lain. Dengan alasan itulah, kebanyakan masyarakat menganggap bahwa pendidikan islam terdahulu pada khususnya telah final, ideal, dan tak perlu dikaji ulang. Sehingga semuanya harus sesuai dengan hasil ijtihad para ulama klasik. Oleh sebab itu, hal ini hanya akan menjadikan pendidikan islam itu sendiri sulit berkembang dan bahkan akan mengalami ke-mandeg-an. Yang kemudian cenderung menutup diri dan bersifat tertutup (ekslusif). Sehingga yang terjadi di sini hanyalah pengulangan-pengulangan yang bersifat materi.
Akan tetapi, permasalahannya sekarang apakah pendidikan islam itu akan mampu berkutat dan berdialog dengan sekian banyak perubahan dan persoalan masyarakat secara umum, ketika menutup diri dan tidak mau menerima masukan dari luar? Bukankah sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa pada hakekatnya pendidikan islam mangandung prinsip “Al-muhafadzatu ‘alal qodimish shaalih ma’al akhdzi wal ijadi bil jadiidil ashlah“ (mempertahankan budaya lama yang masih baik dan relefan disertai dengan mengambil budaya baru yang lebih baik dan relefan). Di aman, di sini agar tetap sesuai dengan konteks yang berkembang di tengah mansyarakat. Dengan demikian, dari prinsip itulah bukankah pendidikan islam itu harus terbuka lebar dan membuka jalan demi tercapainya pendidikan islam yang transpformatif. Dalam artian bahwa pendidikan islam itu harus berifat terbuka (inklusif).
Dengan demikian, kalau pendidikan islam berifat terbuka (inklusif) maka hal ini akan menambah perkembangan dalam pendidikan islam (ilamic studies) itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan kerangka analisis epistimologi yang khas dalam pendidikan islam khususnya. Ada tiga kerangka analisis epistimologi dalam pendidikan islam. Pertama, Bayani. Sumber terpokok dalam tradisi bayani ini adalah nas, teks, dan wahyu. Dalam hal ini peran akal untuk menafsirkan hal-hal tang terkait dengan persoalan keberagamaan dan pendidikn islam, sangatlah terbatas. Karena semuanaya harus sesuai dan berpdoman terhadap teks dan wahyu. Sehingga akan membentuk dan menjadikan pendidikan islam sulit menerima realitas sosial yang ada.
Kedua, Irfani. Kalau pada tradisi berfikir (keilmuan) bayani bersumber pada teks dan wahyu, namun pada tradisi irfani bersumber pada intuisi atau pengalaman langsung (direct eksperience). Akan tetapi tradisi pemikiran dan keilmuan irfani ini juga akan mengalami jalan kebuntuan. Sebab di sini hanya mengguanakan sumber pengalaman tanpa dibarengi dan disesuaikan dengan wahyu dan teks keagamaan. Ketiga, Burhani. Dalam tradisi keilmuan burhani ini adalah bersumber pada realitas (al-Waqi’), baik alam, sosial, dan humanitas. Di mana, dalam tradsisi burhani ini semuanya ditekankan pada korespondensi, yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespondensi, juga korelasi yakni keruntutan dan keberaturan berfikir yang logis. Dan upaya terus menerus dalam rangka menemukan dan memperbaiki serta menyempurnakan tradisi berfikir pendidikan islam.
Namun, dalam realitasnya sekarang bahwa pendidikan islam khususnya, meskipun telah menggunakan tradisi keilmuan baik bayani, irfani, dan burhani masih cenderung berjalan pada porosnya masing-masing. Sehingga hal ini malah semakin membuat dan menambah keterpurukan dan ke-mandeg-an dalam pendidikan islam. Ini dikarenakan oleh tidak adanya dialog dan tutur sapa antara ketiga dimensi keilmuan tersebut.
Oleh karena itu, buku yang ditulis Dr. Mahmud Arif setebal 309 halaman ini memberikan suatu jalan dan terobosan baru dalam mewujudkan pendidikan islam transformatif. Yakni, dengan mengkomparasikan dan mengkolaborasikan antara ketiga dimensi kelimuan tersebut. Antara tradisi keilmuan bayani yang bersumber pada teks dan wahyu, dan irfani bersumber pada intusisi dan pengalaman, serta burhani yang bersumber pada realitas (al-Waqi’) di tengah masyarakat, maka akan terbentuk dan terwujud serta tercapai suatu pendidikan islam yang transformatif.

Tidak ada komentar: